in Sepak Bola yang Menjinakkan « epangawan

Sabtu, 02 Agustus 2014

Sepak Bola yang Menjinakkan

Posted by Unknown  |  No comments


Tak dapat dimungkiri, pembicaraan tentang sepak bola selalu mendapat penilikan dari beragam sisi. Berbagai macam persepsi, paradigma berpikir, bahkan konsep filosofis bisa menaruh pembedahan terhadap olahraga yang lahir di tanah Inggris itu. Namun, sepak bola itu bukan sekadar olahraga. Ia juga bukan sekadar permainan. Sepak bola itu lebih daripada itu. Ia itu bak miniatur kehidupan. Di dalamnya, beragam poin bidang kehidupan termaktub, terpatri apik. Legenda sepak bola Brazil Pele mengatakan bahwa sepak bola itu bahasa perdamaian. Luar biasa. Ini berarti esensi sepak bola itu adalah kedamaian, kesejukkan. Jadi, apapun konteks eksistensinya, ujung-ujungnya sepak bola menghantar setiap penikmatnya pada integritas hati, rasa damai yang menghangatkan.
Perhelatan Piala Dunia yang baru saja berakhir semakin memantapkan term yang dicetuskan oleh tuan Pele tersebut. FIFA mengapresiasi negeri Brazil sebab sukses menyelenggarakan turnamen sepak bola terbesar sejagad itu. Suksesnya tuan rumah itu karena mereka mampu meredam isu-isu distorsif yang disinyalir bakalan terealisasi selama turnamen. Rupanya, hampir tidak ada kekisruhan yang memberikan efek gaduh bagi jalannya setiap pertandingan. Di luar arena pertandingan pun jarang terdengar aksi-aksi brutal yang berbahaya dan mengganggu kenyamanan para suporter. Justru berbagai macam fan fest nonton bareng digelar di ruang terbuka di mana para suporter dari beragam negara datang berkumpul bersama. Mereka memberikan dukungan bagi tim-timnya dalam suasana yang akrab, sejuk, bersahabat. Semuanya berada di bawah payung kedamaian.
Sepak bola itu menjinakkan. Buaian permainannya mampu menghipnotis setiap mata untuk lupa sejenak akan setiap persoaln hidup. Ia memberikan kesegaran, memberikan daya charger baru bagi setiap insan dalam menata kehidupannya. Sepak bola yang menjinakkan itu mampu menyatukan orang-orang dari beragam negara untuk larut di dalam euforianya. Beribu-ribu kepala datang berjubel, menikmati tarian bola dengan satu fokus; memperoleh kepuasan batin. Mereka terhibur oleh bola yang senantiasa bergerak erotis, meliuk sana-sini, menggelinding intim dari kaki ke kaki, melumat pasti setiap helaian rumput. Sepak bola menjinakan hati yang gundah. Ia itu lahir dari seni dan tujuannya untuk memeragakan seni itu yang berujung pada segarnya cita rasa para penikmatnya. Ia tak pandang bulu. Mulai dari elite politik sampai pada sosok-sosok penghuni favelakumuh, sepak bola datang menjalari.
Filsuf Schiller menulis, “Seni adalah anak dari kebebasan”. Sepak bola sebagai suatu karya seni merupakan pengejahwantahan atas kebebasan itu. Namun, kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan yang monopolitis, yang mengekang ataupun kebebasan yang terlalu liar hingga mengeliminasi makna seni in se. Di dalam sepak bola, kebebasan yang ditampilkan itu selalu pada porsinya. Ada roh yang menggerakkan kebebasan berekspresi untuk mengolah si kulit bundar, roh idealisme yang partisipatif dalam setiap analisis, adu taktik, bahkan benturan persepsi setiap penontonnya. Ada pula realitas minor yang memang tak lepas dari sisi manusiawi setiap orang yang cinta bola itu. Akan tetapi, poin kebebasan tak pernah luput dari setiap perbincangan sepak bola.
Berbicara tentang sepak bola yang menjinakkan, Josep Guardiola berbicara bahwa itulah keindahan sepak bola, kadang ia membuat kita tertawa, kadang pula kita harus menangis. Lalu, apa korelasinya antara sepak bola yang menjinakkan dan rasa suka bahagia ataupun menangis sedih. Kata kuncinya adalah kesadaran. Seringkali, setiap penikmat bola itu terlalu percaya diri sampai lupa diri bahwa mereka adalah segala-galanya. Ketika tim yang diusungnya tidak menuai hasil memuaskan, perasaan tidak mau menerima hasil datang menghantui dan timbullah konflik-konflik yang tidak diinginkan. Inilah pola pikir dan pola sikap yang keliru. Sejatinya, hasil di lapangan yang tidak sesuai dengan harapan mesti meyadarkan setiap insan bola akan keangkuhan yang dimiliki. Bahwasannya dalam sepak bola itu, kalah menang merupakan kewajaran dan patut diakui. Kalah atau menang dalam sepak bola itu niscaya. Makanya, jika tidak menerima keniscayaan itu, bukanlah disebut penikmat bola tetapi badut-badut bola. Sama dengan pesta demokrasi, jika tidak mau menerima hasil pemilu, namanya adalah juga badut demokrasi. Sekali lagi, kesadaran itu mesti terbentuk. Dengan demikian, makna jinak yang ada di dalam sepak bola itu bisa menampilkan wujudnya. Ia menjinakkan setiap figur yang angkuh dalam fanatisme sempit nan serampangan untuk sadar bahwa sepak bola merupakan cerminan cinta kasih. Ia adalah kedamaian. Berdamai dengan situasi. Itulah seruan inspiratifnya. Apabila hanya ingin menang saja, itu bukan sepak bola. Sepak bola mesti dipandang secara jinak karena ia itu menjinakkan secara esensial. Tertawalah, menangislah. Semuanya itu indah.

Sepak bola telah mengajarkan banyak hal kepada kehidupan. Mencintai sepak bola merupakan salah satu hal yang mesti dilakukan oleh kita sekalian. Banyak orang yang cakap bermain bola tetapi tidak mencintai bola. Di lain sisi, ada begitu banyak yang tidak pandai bermain bola tetapi menaruh kecintaan sangat tinggi terhadapnya. Itu baru namanya penikmat bola. Pada kesimpulannya, mari mengutip ujaran Bill Shankly, manajer klub Liverpool era 1959-1974. Beliau bilang begini, “Some people believe football is a matter of life and death. I am very dissapointed with that attitude. I can assure you it is much, much more important than that”. Anda benar Bapak Shankly, ia itu menjinakkan, bukan ?

07.45 Share:
About epangawan.blogspot.com

Tentang sebuah Blog kecil. Penyalur hobi. inspirasi dalam kata. Menyegarkan serentak mencerahkan. Temukan kami di facebook epangawan

Comments
0 Comments

0 komentar:

Get updates in your email box
Complete the form below, and we'll send you the best coupons.

Deliver via FeedBurner

Youtube

Recent News

Entri Populer

Proudly Powered by Gufo23.
back to top