Minggu
pagi benar mataku binar pada setapak tatap nanar. Aku mencoba tenang, merunduk
perlahan pada pekatnya mimpi semalam. Gadis tak berkasut dalam mimpi itu hadir
dengan senyum darah merinding. Memilin-milin tanganku seakan protes pada Sang
Waktu. Aku lagi-lagi benar binar. Mata gadis itu tajam menghujam hendak memberi
tahu bahwa pagi ini sesungguhnya bukan benar Minggu. Gadis si tukang mimpi.
Kapankah engkau bergejolak pekak untuk bergumul bersamaku lagi. Di jalan raya,
di trotoar, di kolong jembatan. Di mana saja aku berkelana sampai kubuntuti
darah perawan yang masih polos usianya.
Namaku
Jupri. Di tempat penahanan ini aku dipanggil Pak Jupri. Makumlah usiaku yang makin
uzur ditemani gundukan jenggot lebat yang tak pernah dicukur. Aku bergabung
dengan beberapa sama saudara dari pofesi berbeda-beda. Ada si tukang jagal
manusia, ada yang lahir karena ditakdirkan untuk jadi tukang perkosa, ada yang
mulutnya besar karena sering memamah uang rakyat, ada yang suka jilat bubuk
kenikmatan. Masih banyak lagi yang ada di sini. Dari tukang sate berdasi sampai
pejabat berbau asap, semuanya trenyuh di bekapan rumah tahanan ini. Trenyuh?
Ah, aku rasa ini bukan trenyuh. Mungkin, hanya akulah yang trenyuh. Aku dan
gadis itu. Aku dan si darah perawan lugu. Ia hadir dalam mimpi. Aku takut pada
sang gadis. Kapankah aku sujud lalu memijit kakimu berucap maaf. Minggu pagi
ini mungkin belum benar. Aku mau yang benar kalau aku hari ini bebas dari masa
hukumanku. Aku bebas dari durjana. Menemukan keluargaku dan keluargamu juga
para sahabat lama. Akan kumulai membangun hidup baru. Sebuah cita asa mulia
untuk tukang bunuh seperti aku.
Pagi
itu, ujung aspal tak pernah beri isyarat kalau akan terjadi hal tragis serentak
naas benar. Marta sedang berjalan kecil menuju sekolahnya. Senyumannya merona
menunjukkan tak ada kepalsuan di dalamnya. Dengan baju putih berkerak dan rok
merah tanda semangat juang, ia melangkah pasti menggapai cita-cita. Cita-cita
yang mungkin ia sudah impikan sejak masih janindulu. Dari jauh kulihat bocah
itu. Aku tersenyum, menikmati setiap alur waktu perjalananku. Namaku Jupri. Di
kalangan para sopir taksi, aku dikenal dengan sebutan Pak Jupri. Wajarlah kalau
aku memang sudah beristri, beranakkan empat yang sudah wisuda semuanya.
Anak-anakku sering bilang supaya aku berhenti bekerja tapi aku tak mau. Masih
ada banyak guratan makna yang ingin kulakukan. Aku bukanlah sosok pemalas yang
suka berbaring di ranjang pesakitan. Aku ini sopir taksi hebat yang sudah terkenal
sejak zamannya Koes Plus. Aku bahagia.
Tabrakan
maut itu menewaskan sesosok gadis kecil. Seorang pelajar sekolah dasar. Taksi
itu menghantam tanpa ampun. Melahap dari depan, melumat setiap sendi-sendi
tubuhnya. Martaterkapar berlumuran darah. Darah segar seorang anak manusia yang
sedang tumbuh meraih mimpi. Menggemparkan. Ia lenting terhempas kira-kira
sepuluh meter dari tempat tabrakan. Rem taksi bolong. Masa Taksi Jupri yang
sudah terkenal dengan kenyamanannya itu mengalami kejadian seperti ini.Semua
orang tersentak kaget. Tidak mungkin. Istri dan anak-anakku, para sahabat
kenalan semuanya menganggap ini mustahil. Tapi, aku memang benar-benar menabrak
Marta. Marta yang kini jatuh cinta padaku. Marta yang kini setengah mati padaku.
Ini tabrakan benar. Aku telah menabrak Marta. Kejadinnya sederhana. Ketika ia
hendak menyeberang, mobilku meluncur pelan dalam posisi menurun. Namun, pedal
rem tak berfungsi. Aku kalang kabut. Belum pernah kualami kejadian seperti ini.
Jalanan yang menurun membuat mobilku menyusur cepat membabi buta. Ia tak kenal
lagi siapa di hadapannya entah iblis ataupun malaikat, semuanya diembatnya. Marta
yang kala itu menyeberang penuh riang tak sadar kalau benda maut akan menjemputnya.
Dan, sebuah bunyian keras menggelinding kidung duka. Mobilku langsung menghujam
tubuh mungilnya. Gadis keci itu terpelanting berbadan hancur. Darah muncrat di
mana-mana. Aku tak sadarkan diri. Marta tewas seketika. Ia adalah korban taksi
Jupri.
Limatahun
lamanya aku dalam penjara, aku tak pernah bermimpi yang aneh-aneh. Entah itu
tentang keberuntungan ataupun tentang kematian yang pernah aku ciptakan. Yang
ada hanya perasaan bersalah dan rasa sesal yang tak kunjung henti-hentinya. Aku
merenung sendiri. Kadang, aku berontak sendiri tak jelas, menyebut namanya
sembari meminta maaf. Aku sempat minta untuk jadi tukang reparasi mobil di
penjara. Ingin kubetulkan setiap jengkal rem kendaraan supaya tidak bolong. Aku
berdoa kepada Dewi waktu supaya kisah maut itu terulang kembali dan Marta tidak
mati. Biarlah Marta tetap menyeberang dengan selamat dan mobilku kubanting ke
arah kiri supaya masuk ke dalam jurang dan aku mati bahagia. Aku ingin mati
bahagia karena Marta selamat. Kini ia mungkin sudah SMA. Aku merindu Marta. Aku
malu pada keluarganya. Tiap hari aku berdoa untuk Marta. Aku bahkan tidak
mengenali wajahnya sama sekali.Di penjara, aku kadang seperti orang gila,
bertingkah laku seperti anak kecil. Pernah kuminta anak sulungku untuk
membelikanku pakaian seragam SD. Kupakai pakaian itu dan kubertingkah layaknya Marta
kecil yang sedang senyum ceriah sebelum….Aku bahagia menjadi Marta.
Lima
tahun berlalu begitu cepat. Kini, aku berhak untuk bebas dan kembali ke rumah.
Pagi-pagi benar dalam Minggu itu, aku terjaga dari sebuah tidur yang
melelahkan. Aku baru saja bergulat hebat. Marta datang menjengukku. Hmm, bukan
menjengukku. Lebih tepatnaya, ia datang untuk mengungkapkan cintanya padaku.
Aku takut tapi ini memang nikmat. Aku sungguh bahagia sekali. Kami bercinta
tepat pada hari pembebasanku. Oh, dia sudah besar rupanya. Margaretatelah
tumbuh menjadi gadis ranum. Tentunya ia tumbuh di alam lain. Aku senang melihat
Margareta datang dan mengajakku bercinta . Kami bercinta dalam lelap. Aku
benar-benar dipuaskan. Aku dipuaskan dia yang telah kurenggut hak hidupnya.
Kami memburu berderu nafas abadi. Aku tertegun pasrah, memelik dalam
dekapannya. Apakah ia datang untuk mengajakku pergi tinggal di alamnya. Ah,
Marta kecil. Eh, maaf, Margareta yang sudah besar. Jangan kau bawa aku lari
dari sini. Tak sudi aku kau culik. Biarkan aku bebas berliuk menghabiskan
seluruh pundi waktuku. Aku masih ingin berkarya pada langit yang belum berjingga,
pada laut yang takkan pernah kerontang meski ubanku beruzur peluh. Oh, Marta,
mengapa kau datang saat begini, tatkala hendak kumulai hidup baru. Bukan sebagai
supir taksi lagi, bukan sebagai tukang tabrak anak sekolahan lagi.
Minggu
pagi benar. Minggu pagi, Marta benar- benar datang melawat. Pada dengkuran
nafas sebuah lelap, Pak Jupri bermimpi Marta. Marta bilang kepadanya supaya ia
tak usah memikirkan lagi kejadian itu. Marta sudah bahagia di sana. Di mana. Di
sebuah nirwana. Oh, Marta yang baik hati . Ternyata hatimu tetap putih. Limatahun,
aku gila karenamu. Aku tak tahu dengan cara apa aku harus meminta maaf. Tapi, saat
hari pembebasanku. Engkau datang. Terima kasih sudah memberi penguatan. Kita
bahkan sempat bercinta. Ah, apakah memang nyata kita bercinta ataukah hanya ilusi
lelaki kesepian. Aku tak tahu. Intinya, hari ini. Hari minggu. Ia benar. Minggu
pagi ini sungguh Minggu pagi. Aku bebas dari penjara kedurjanaan. Margareta
yang sudah kubuat mati. Semoga hari setelah Minggu pagi ini engkau tidak datang
lagi. Aku tahu kau sudah bahagia di sana.
07.23
Share: