Tak
dapat dimungkiri, pembicaraan tentang sepak bola selalu mendapat penilikan dari
beragam sisi. Berbagai macam persepsi, paradigma berpikir, bahkan konsep
filosofis bisa menaruh pembedahan terhadap olahraga yang lahir di tanah Inggris
itu. Namun, sepak bola itu bukan sekadar olahraga. Ia juga bukan sekadar
permainan. Sepak bola itu lebih daripada itu. Ia itu bak miniatur kehidupan. Di
dalamnya, beragam poin bidang kehidupan termaktub, terpatri apik. Legenda sepak
bola Brazil Pele mengatakan bahwa sepak bola itu bahasa perdamaian. Luar biasa.
Ini berarti esensi sepak bola itu adalah kedamaian, kesejukkan. Jadi, apapun
konteks eksistensinya, ujung-ujungnya sepak bola menghantar setiap penikmatnya
pada integritas hati, rasa damai yang menghangatkan.
Perhelatan
Piala Dunia yang baru saja berakhir semakin memantapkan term yang dicetuskan
oleh tuan Pele tersebut. FIFA mengapresiasi negeri Brazil sebab sukses
menyelenggarakan turnamen sepak bola terbesar sejagad itu. Suksesnya tuan rumah
itu karena mereka mampu meredam isu-isu distorsif yang disinyalir bakalan
terealisasi selama turnamen. Rupanya, hampir tidak ada kekisruhan yang
memberikan efek gaduh bagi jalannya setiap pertandingan. Di luar arena
pertandingan pun jarang terdengar aksi-aksi brutal yang berbahaya dan
mengganggu kenyamanan para suporter. Justru berbagai macam fan fest nonton bareng digelar di ruang terbuka di mana para suporter
dari beragam negara datang berkumpul bersama. Mereka memberikan dukungan bagi
tim-timnya dalam suasana yang akrab, sejuk, bersahabat. Semuanya berada di
bawah payung kedamaian.
Sepak
bola itu menjinakkan. Buaian permainannya mampu menghipnotis setiap mata untuk
lupa sejenak akan setiap persoaln hidup. Ia memberikan kesegaran, memberikan
daya charger baru bagi setiap insan
dalam menata kehidupannya. Sepak bola yang menjinakkan itu mampu menyatukan
orang-orang dari beragam negara untuk larut di dalam euforianya. Beribu-ribu
kepala datang berjubel, menikmati tarian bola dengan satu fokus; memperoleh
kepuasan batin. Mereka terhibur oleh bola yang senantiasa bergerak erotis,
meliuk sana-sini, menggelinding intim dari kaki ke kaki, melumat pasti setiap
helaian rumput. Sepak bola menjinakan hati yang gundah. Ia itu lahir dari seni
dan tujuannya untuk memeragakan seni itu yang berujung pada segarnya cita rasa
para penikmatnya. Ia tak pandang bulu. Mulai dari elite politik sampai pada
sosok-sosok penghuni favelakumuh,
sepak bola datang menjalari.
Filsuf
Schiller menulis, “Seni adalah anak dari kebebasan”. Sepak bola sebagai suatu
karya seni merupakan pengejahwantahan atas kebebasan itu. Namun, kebebasan yang
dimaksud bukanlah kebebasan yang monopolitis, yang mengekang ataupun kebebasan
yang terlalu liar hingga mengeliminasi makna seni in se. Di dalam sepak bola, kebebasan yang ditampilkan itu selalu
pada porsinya. Ada roh yang menggerakkan kebebasan berekspresi untuk mengolah
si kulit bundar, roh idealisme yang partisipatif dalam setiap analisis, adu
taktik, bahkan benturan persepsi setiap penontonnya. Ada pula realitas minor
yang memang tak lepas dari sisi manusiawi setiap orang yang cinta bola itu.
Akan tetapi, poin kebebasan tak pernah luput dari setiap perbincangan sepak
bola.
Berbicara
tentang sepak bola yang menjinakkan, Josep Guardiola berbicara bahwa itulah
keindahan sepak bola, kadang ia membuat kita tertawa, kadang pula kita harus
menangis. Lalu, apa korelasinya antara sepak bola yang menjinakkan dan rasa
suka bahagia ataupun menangis sedih. Kata kuncinya adalah kesadaran.
Seringkali, setiap penikmat bola itu terlalu percaya diri sampai lupa diri
bahwa mereka adalah segala-galanya. Ketika tim yang diusungnya tidak menuai
hasil memuaskan, perasaan tidak mau menerima hasil datang menghantui dan
timbullah konflik-konflik yang tidak diinginkan. Inilah pola pikir dan pola
sikap yang keliru. Sejatinya, hasil di lapangan yang tidak sesuai dengan
harapan mesti meyadarkan setiap insan bola akan keangkuhan yang dimiliki.
Bahwasannya dalam sepak bola itu, kalah menang merupakan kewajaran dan patut
diakui. Kalah atau menang dalam sepak bola itu niscaya. Makanya, jika tidak
menerima keniscayaan itu, bukanlah disebut penikmat bola tetapi badut-badut
bola. Sama dengan pesta demokrasi, jika tidak mau menerima hasil pemilu,
namanya adalah juga badut demokrasi. Sekali lagi, kesadaran itu mesti
terbentuk. Dengan demikian, makna jinak yang ada di dalam sepak bola itu bisa menampilkan
wujudnya. Ia menjinakkan setiap figur yang angkuh dalam fanatisme sempit nan
serampangan untuk sadar bahwa sepak bola merupakan cerminan cinta kasih. Ia
adalah kedamaian. Berdamai dengan situasi. Itulah seruan inspiratifnya. Apabila
hanya ingin menang saja, itu bukan sepak bola. Sepak bola mesti dipandang
secara jinak karena ia itu menjinakkan secara esensial. Tertawalah,
menangislah. Semuanya itu indah.
Sepak
bola telah mengajarkan banyak hal kepada kehidupan. Mencintai sepak bola
merupakan salah satu hal yang mesti dilakukan oleh kita sekalian. Banyak orang
yang cakap bermain bola tetapi tidak mencintai bola. Di lain sisi, ada begitu
banyak yang tidak pandai bermain bola tetapi menaruh kecintaan sangat tinggi
terhadapnya. Itu baru namanya penikmat bola. Pada kesimpulannya, mari mengutip
ujaran Bill Shankly, manajer klub Liverpool era 1959-1974. Beliau bilang
begini, “Some people believe football is
a matter of life and death. I am very dissapointed with that attitude. I can
assure you it is much, much more important than that”. Anda benar Bapak
Shankly, ia itu menjinakkan, bukan ?
07.45
Share: